CERITA SURYAKANCANA CIANJUR
(Abdullah Nugraha dan Diki Hilman)
Editor: Iis Ristiani
Di tengah hutan yang jauh dari pemukiman, seorang anak remaja terlihat berlari.
“Kejar!!!” dengan suara lantang ia berteriak ketika melihat seekor buruan di depan matanya. “Aku tak akan biarkan dia kaburrr,” bisiknya. Ia berlari mengejar buruannya. Tak sia-sia ia berlari pontang-panting, setelah tertangkap buruannya itu. Digenggamnya buruan itu seraya berkata,”Horee!! Menu makan malam ini spesial ayam hutan yang lezat”. Sore itu ia tampak bahagia sekali.
Hari mulai malam terdengar sayu-sayup adzan magrib berkumandang. Menuntunya melangkah untuk segera pulang. Suasana dusun yang penuh dengan kedamaian membuat anak remaja ini tumbuh menjadi sosok yang baik, ramah, dan rajin. Ia lahir dari keluarga sederhana. Hidup dan dibesarkan oleh ibu seorang. Meski terkadang ada rindu pada sosok ayah yang tgidak pernah ada dalam hidupnya. Karena itu pula, sejak kecil ia selalu siap untuk membantu dan menjaga ibu dari segala mara bahaya.
Tidak terasa, ia sudah sampai di kampungnya. Jarak kampung dan hutan tidak terlalu jauh. “Dapat apa hari ini?” Terdengar kakek dengan suara serak, seraya menatap Raden (panggilan kakek kepada murid kesayangannya yang beranjak dewasa itu)
“Ayam hutan, Ke” jawab Raden sambil mengulurkan tangannya, mencium penuh hormat tangan Kakek.
Kakek yang bernama lengkap Syarif Hidayatulloh yang tak lain adalah Kepala Dusun di kKakek Gunung Gede Pangrango. Sosok ini yang selalu menasihati dan selalu bercerita tentang kehidupan yang penuh keilmuan.
“Hmmm… lekas pulang, ibumu pasti mencarimu” ujar Kakek pada Raden. “Iya, ke”. “Raden pulang dulu”.
Paras yang tak lagi muda, dengan sabar dan penuh harap meski terkadang tampak khawatir menunggu di depan rumah yang sama tuanya. Gubuk kecil yang sudah lapuk termakan waktu. Meski beratapkan daun kelapa tua, namun penghuninya penuh kehangatan dan kedamaian.
“Raden pulang, Bu”, ucap Raden seraya mencium tangan ibunya.
“Ibu khawatir, Nak”, sudah mau malam kamu baru pulang sambil memeluk dan mengusap rambut Raden.
“Sudah sana masuk. Segera mandi dan pergi ke surau. sholat dan mengaji”
“Iya, Bu”.
“Anak-anak hidup ini penuh dengan cobaan penuh dengan hal-hal yang buruk dan jika kita merasakan cobaan sebesar kapal, maka yKakeknlah nikmat Alloh sebesar lautan, Alloh Tuhan kita akan selalu ada untuk kita, untuk umatnya yang taat akan ibadah kepadanya. Dengan taat kepadanya, niscaya jalan terang akan terlihat serta memberikan pertolongan untuk kita semua,” kata-kata yang diucapkan Kakek selalu terngiang di telinga Raden. Dalam lamunan, Raden berharap dapat terus tinggal di dusun yang nyaman ini, mengaji, dan mendengar cerita Kakek. Sungguh Raden merasa nyaman tinggal di sini. Apalagi membahagiakan dan berbakti kepada orang tuanya yang tinggal ibunya sendiri.
Dari upuk timur di penghujung malam, fajar mulai menyingsing beriringan dengan suara alam yang kian melengkapi rasa kedamaian.
“Bu..!!!” Raden pergi berburu dulu yaa”
“Iyaa.. hati-hati” ujar sang ibu.
“Iya bu” sahut Raden.
Semua perlengkapan berburu telah siap, namun entah kenapa hari ini hati Raden sedang gundah. Entah apa yang akan terjadi. Hanya Allah yang tahu.
Sesampainya di hutan, sekilas terlihat bayangan sekor kelinci lewat dengan cepat menyusuri rumput hijau yang lebat. Seketika Raden dengan sigap berlari tanpa bersuara bak harimau mengintai mangsa dengan taring yang siap menerkam sang mangsa. Busur pun siap dibidikan pada buruan.
“Pletakkk”. Busur yang ia keluarkan patah seketika. “Innalillaahi”, gumamnya. Dalam hatinya ia berkata, “kenapa bisa terjadi, tak biasanya busur patah seperti ini”? Raden mendadak gelisah, mungkinkah ini ada pertanda buruk? Seketika Raden mendadak ingin pulang cepat ke rumah. menembus hutan. Menerjang rumput liar yang tinggi menjulang. Raden berhenti di tebing kaki gunung sambal melihat pemandangan aneh yang penuh tanya. Pemandangan yang membiuatnya lemas dan tak berdaya. Dengan segera ia berjalan, didapatkannya rumah-rumah banyak yang dibakar. “Apa yang terjadi?” bisik hatinya. “Mengapa dusun ini diluluhlantahkan seperti ini?”. Beribu tanya dalam pikirnya. Tidak sadar, Raden menangis dan berteriak, “Ibu, Ibuu, Ibuuuu!!!” Raden menyeruak sambil membayangkan wajah ibunya. Ia berlari sesegera mungkin menuju rumah menyisiri rumput-rumput liar yang menjulang.
“Ibuuu....., Ibu dimana, jawab bu ini Raden!” Air mata seketika tumpah tidak terbendung ketika melihat bercak darah berceceran di lantai yang membuat Raden lemah terkulai. Ia terlihat kalang kabut mencari ibu yang tiada di rumah. Raden pun beranjak mencari keluar rumah dan mengelilingi dusun dengan hati-hati. Begitu menyayat hati ketika semua rumah dibakar dan warga dusun dibunuh. Raden terus mencari ibunya.
“Raden, cepatlah pergi dari sini, masa depanmu masih panjang biar kami yang sudah tua menghadapi ajal lebih dulu”. “Cepat pergi dari dusun. Mengungsilah ke dusun lain..!!” Teriak Kakek kepada Raden. Dengan air mata yang mengalir dan seakan kematian di ujung tanduknya. Kakek tetap meminta Raden pergi.
“Raden tidak bisa, Ke, Raden harus mencari ibu”. Dengan berat hati, Raden pergi meninggalkan sosok yang dikaguminya dalam keadaan yang menyedihkan. Melangkah lebih jauh. Raden terus mencari sosok ibu. Kobaran api membakar hampir seluruh dusun tapi Raden yakin ibunya masih ada.
“Tolong...tolong”??. Suara yang tak asing terdengar oleh Raden, dengan cepat Raden berlari menuju suara yang diyakini suara ibunya.Tapi sayang suara itu kian menghilang. Suara itu sudah tidak ada. Begitupun dengan para penjahat yang membakar serta menjarah dusun, mereka pergi tanpa menyisakan apapun di dusun yang penuh kedamaian itu.
Raut wajah sedih bercampur amarah, Raden bersumpah menghapus keberadaan para penjarah yang telah mengambil semua hasil pertanian warga. Menghancurkan seisi dusun. Raden berjanji dan bersumpah untuk mencari dan menebus nyawa-nyawa warga yang hilang.
Dari kejadian itu Raden kian tumbuh menjadi anak remaja yang kuat dalam menghadapi kenyataan. Raden mencoba tegar dan ia mengembara dari satu dusun ke dusun lain. Dari situlah, ia balajar tentang kehidupan. Belajar tentang mempertahankan diri dengan ilmu bela diri yang dipelajarinya dan membuat Raden mampu menjaga dirinya itulah awal mula perjalanan yang sesungguhnya.
Tibalah Raden di dusun sebrang. Di dusun inilah Raden memulai hidup baru sebagai pribadi yang kuat dan disegani. Di sini Raden tumbuh menjadi seorang yang berakhlak baik dan ia selalu bercerita tentang kehidupan sama seperti Kakek Syarif Hidayatulloh yang dulu dilakukan.
Berhembus kabar tentang para penjarah dusun yang semakin membabi buta, hingga berita itu sampai ke telinga Raden. Membuat luapan amarah kian memuncak tiap kali mendengar hal itu. Amarah dan sumpah Raden tumbuh karena mereka yang telah merenggut semuanya dan Raden berjanji tidak akan membiarkan kejadian itu terulang kembali di dusun ini. Raden akan menjaga dan akan melawan para penjahat yang telah membakar dan menjarah dusunya.
Pada malam Jumat ini sebagaimana mestinya, Raden selalu berada di mesjid membaca ayat suci Al-Quran dan bercerita tentang kehidupan kepada anak-anak.
Dalam lamunan, Raden berkeluh kesah. Andai alam ini damai dan tidak ada orang jahat mungkin saja bumi ini akan tersenyum .
“Tok.. tok... tok... tok..tok…?” terdengar suara kentungan tanda bahaya. Pertanda peringatan, ada yang menyerang dusun. Seiring dengan itu, terdengar suara warga yang terdengar dari luar. Seketika Raden berdiri dan membawa kujang. “anak-anak cepat pergi ke ketempat yang aman cepat.” ujar Raden kepada anak-anak. Api yang berkobar di rumah-rumah penduduk seakan teringat kembali kejadian yang lalu dan kembali menggema janji dan sumpahnya. Amarah dan janji untuk membalas kebencian kepada penjahat yang telah menjarah dusunnya dulu semakin memuncak. Raden berlari mendekti para penjahat yang membakar rumah-rumah warga dan memulai perkelahian dengan bersenjetakan kujang, untuk membantai habis para penjahat. Raden bekerja keras. Meski kobaran api tidak dapat dihindari, tapi akhirnya dusun kembali aman dan penjahat mundur tak tentu arah.
“Inilah saatnya kita melawan para penjarah yang sudah meresahkan dan membuat kita menderita”!! ujar Raden kepada para warga.
“Setuju..setuju... setuju....” suara mulai bersahutan tanda dukungan kepada Raden untuk memulai perlawanan kepada penjahat.
“Tapi kita hanya sedikit, mana mungkin bisa mengalahkan mereka sedangkan jumlah mereka lebih banyak” terdengar dari kerumunan warga.
“Kita akan minta bantuan dusun lain biar saya yang meminta bantuan” ujar Raden kepada warga dusun.
Dalam waktu empat hari Raden telah mampu mengumpulkan warga yang siap meneguhkan hatinya untuk memberantas para penjahat yang suka menjarah. Yang dikabarkan mendiami dusun yang dulu ditinggalkannya. Berita tentang dusun-dusun yang memberontak kepada para penjarah menyebar seperti udara yang menghembus cepat. Menyebar dari dusun satu ke dusun lainnya. Mengukuhkan semua warga dusun untuk bersatu melawan para penjarah. Sungguh banyak warga dusun yang menginginkan kedamaian. Mereka berkumpul dan membuat Raden bersemangat.
Tibalah hari dimana peristiwa besar terjadi. Suara Raden berkobar seakan membakar semangat warga untuk mengusir dan memberantas para penjahat. Raden memulai penyerangan menantang para penjahat dan diiringi rasa ingin membalaskan kebencian terhadap penjahat untuk para penduduk dusun yang dulu mati.
“Jangan taku, hancurkan para penjarah ini demi kedamian kita, demi saudara-saudara kita yang sudah meninggal” ujar Raden. Kujang pun diacungkannya Tanda untuk menyatukan warga.
“Siapa yang berani menantang kami akan kami bunuh tanpa ampun”. Suara keras dan sosok yang ditunggu muncul Ia adalah biang otak dari segala pembunuhan dan penjarahan di dusun-dusun. Tidak lain pemimpin para penjarah yang terkenal sadis tanpa ampun. Dialah Kirun. Namun Raden tidak gentar dan tidak urung melihatnya. Akan tetapi semangatnya semakin memuncak dan melihat tujuannya selama ini telah mendekati akhir!!
“Kalian yang telah membunuh para wargaaa... ibu kuuu... dan orang yang aku cintaii. Dusunku yang dulu kau bakar akan kubayar tuntas malam ini dengan darah kalian”. Sumpah yang bergema diiringi amarah, Raden menangkis serangan Kirun yang terus menyudutkan serangannya tanpa memberi celah kepada Raden untuk membalas serangannya.
“Sreeeet”. Sayatan parang mengenai bahu Raden. Darah seketika mengalir diiringn jeritan kesakitan. Raden berpikir apakah ini akhir hidupnya tanpa berhasil membalaskan kematian warga dusun dan menjaga kedamaian di kaki Gunung Pangrango. Bayang-bayang sang ibu mendadak datang. Di saat itulah Raden kembali teringat ibunya yang tiada.
Teriak Raden “tak akan kubiarkan kau hidup sampai tetes darahku habis akan kubawa kau ke alam baka” teriakan Raden membuat Kirun gentar melawan. Seakan mendadak ketakutan ketika melihat raut wajah Raden yang penuh ambisi ingin membunuhnya. “Bukanlah Kirun kalau mundur dalam perang” ujar Kirun dan dengan segera melayangkan parangnya. Dengan sigap Raden menangkis dan mulai menyerang balik dengan kujang dan Raden mampu menyayat lengan Kirun. Walapun Raden sedikit kewalahan namun dengan satu sayatan pun cukup membuat Kirun tersungkur dan mundur seakan ketakutan akan seranga berikutnya. Raden pun tidak memberikan Kirun celah untuk menyerang. Disaat Kirun tersungkur, Raden mengambil langkah dan menusuk mata Kirun.
“Seeebb” Aaaaaaawww!! Kirun menjerit karena tidak dapat menghindari kujang yang menembus matanya. “ampuunn aku menyerah aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatan aku. Tolong kasihanilah aku”. Suara Kirun yang memohon dan tangan memegangi mata kanan yang tak lagi bisa melihat. Mata yang terus mengeluarkan darah kian menutupi pipi dan tangan Kirun. Namun Raden tidak memberikan kesempatan hidup kepada Kirun. Kebencian hati dan sumpah yang kian membatu. Raden pun siap menggorok leher Kirun. Namun saat itu pula Raden berhenti dan menangis. “apa yang telah aku perbuat bila aku membunuhnya karena kebencian. Kalau seperti itu aku sama saja sepertinya”. dengan cekatan Raden meringkus dan mengikat Kirun. Memerintahkan Kirun untuk menarik pasukannya mundur dari perang. Darah yang berceceran dimana-mana. Korban yang bergeletakan seakan menghiasi malam yang begitu panjang. Raden seakan tertunduk sambil meneteskan air mata. Raden menangis haru melihat warga yang rela memberikan nyawa demi kedamaian.
“Biarlah di sisa malam ini menjadi saksi bisu menuju kedamaian yang memang tujuan kita sebenarnya”. Di atas batu. Raden berdiri dan surya seakan menyongsong tanda hari baru mulai tiba dan memperlihatkan sosok Raden yang bercahaya seperti emas. “Dengan ini saya nyatakan kita akan bersatu dan hidup damai dalam satu tempat dengan nama Cianjur agar kita hidup tentram sama seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir yang memberikan kehidupan dan manfaat untuk warganya”, dengan penuh rasa haru, Raden mengatakan kata-kata yang penuh makna. Sejak itulah para warga berbondong-bondong membangun kembali sebuah daerah dengan nama Cianjur dan Raden ditunjuk sebagai pemimpin mereka dan diberi gelar Suryakancana yang memiliki arti cahaya dan emas.
Keterangan: Cerita di atas merupakan karya fiksi yang telah divalidasi oleh ahli dan ditulis berdasarkan cerita Suryakancana. Penulisan cerita Suryakancana hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan SKRIPSI yang berkaitan dengan "Penamaan Suryakancana di Masyarakat Cianjur Sebagai Bahan Pembelajaran Cerpen Tahun Ajar 2017-2018"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar